Problem solving : Umat Yang Bersatu
Idealnya, ummat bersatu terutama dalam hal :
1. Bersatu
dalam perkara aqidah (Tauhid)
Ikhwafillah, bila berbicara mengenai
aqidah, maka yang terlintas di pikiran kita ialah
Tauhid, dimana bentuk perbuatan kita ialah ibadah hanya kepada Allah Subhana wa ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dari apapun baik dari secara lahiriah maupun fisik. Secara lahiriah ialah kita terus merasa diawasi oleh Allah dan percaya bahwa Allah yang menghidupkan kita dan mencabut nyawa kita. Secara fisik melalui media anggota tubuh kita, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya seperti sholat 5 waktu, dakwah ilallah, jihad, dan mensyukuri apapun pemberian Allah terhadap kita. Tauhid adalah bentuk aqidah umat Islam, aqidah sederhananya ialah dasar kepercayaan seseorang. Setiap orang membutuhkan yang namanya aqidah, setiap orang yang berjalan dimuka bumi ini tyang tidak memiliki aqidah hanya ada dua kemungkinan, atheis dan agnostic. Pertanyaannya adalah mengapa? Mengapa semua orang membutuhkan aqidah? Nah pertanyaan bagus, sekarang kenapa antum mau membaca tulisan ini? Apakah sebuah kesengajaan? Atau sebelumnya antum punya keyakinan akan apa yang ada dalam tulisan ini? Tapi afwan jangan salah paham dulu tulisan ini bukan bermaksud untuk menyesatkan or brain wash or something no no no....
Tauhid, dimana bentuk perbuatan kita ialah ibadah hanya kepada Allah Subhana wa ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dari apapun baik dari secara lahiriah maupun fisik. Secara lahiriah ialah kita terus merasa diawasi oleh Allah dan percaya bahwa Allah yang menghidupkan kita dan mencabut nyawa kita. Secara fisik melalui media anggota tubuh kita, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya seperti sholat 5 waktu, dakwah ilallah, jihad, dan mensyukuri apapun pemberian Allah terhadap kita. Tauhid adalah bentuk aqidah umat Islam, aqidah sederhananya ialah dasar kepercayaan seseorang. Setiap orang membutuhkan yang namanya aqidah, setiap orang yang berjalan dimuka bumi ini tyang tidak memiliki aqidah hanya ada dua kemungkinan, atheis dan agnostic. Pertanyaannya adalah mengapa? Mengapa semua orang membutuhkan aqidah? Nah pertanyaan bagus, sekarang kenapa antum mau membaca tulisan ini? Apakah sebuah kesengajaan? Atau sebelumnya antum punya keyakinan akan apa yang ada dalam tulisan ini? Tapi afwan jangan salah paham dulu tulisan ini bukan bermaksud untuk menyesatkan or brain wash or something no no no....
Tulisan ini insyaa Allah bermanfaat
untuk memperkuat aqidah saya dan antum serta umat islam lainnya. Nah kemudian, kita
semua mengetahui bahwa “ISLAM” adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh
Allah Azza wa Jalla. Apatah lagi saat ini umat islam telah banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya barat dan pengamalan terhadap bid'ah agama. Islam adalah toleransi betul, namun toleransi bukan berarti mengikuti apa yang mereka lakukan, terlebih bila memberi selamat! Ingat, lisan itu bermata dua. Walaupun hanya sekedar kata, tapi hal itu dapat menggoyahkan nilai aqidah kita. Mengenai bid'ah, penulis tidak akan membahas terlalu gamblang tentang masalah sensitif seperti ini tapi kami hanya mengingatkan bahwa "Islam ini telah sempurna" (Qs. Al Maidah:3) sempurna artinya tak ada lagi penambahan ataupun pengurangan, bila kita menganggap bid'ah dalam agama itu ada dan benar maka secara tidak langsung kita telah menuduh Rasulullah belum sempurna dalam menyampaikan wahyu? Na'udzu billah min dzalik..

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi
Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."
Allah
mengatakan satu-satunya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Al Islam,
bukan agama lain, bukan aliran atau sekte-sekte yang ada di dunia ini. Telah
kita perhatikan seksama bahwa telah ada banyak agama-agama, aliran-aliran,
sekte-sekte kepercayaan di dunia ini. Bahkan islam itu sendiri pun tak luput
dari yang namanya perpecahan internal, perpecahan ini dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan berusaha merusak islam dari dalam.
Akan tetapi, dimanapun kita berada, kita hanya mengenal islam itu hanyalah
Islam bukan Islam yang dilabeli dengan nama lain
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda “umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya di
neraka kecuali satu.” Didalam riwayat lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah,
siapakah golongan yang selamat ? Beliau menjawab,’Siapa yang berada diatas
(ajaran) seperti ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan
Tirmidzi)
Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz mengatakan bahwa “Golongan yang Selamat”
adalah jama’ah yang istiqomah diatas jalan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam
dan para sahabatnya, mengesakan Allah, menaati berbagai perintah dan menjauhi
berbagai larangan-Nya, istiqomah dengannya dalam perkataan, perbuatan maupun
aqidahnya. Mereka adalah ahlul haq, para penyeru kepada petunjuk-Nya walaupun
mereka tersebar di berbagai negeri, diantara mereka ada yang tinggal di Jazirah
Arab, Syam, Amerika, Mesir, Afirka, Asia, mereka adalah jama’ah-jama’ah yang
banyak yang mengetahui aqidah dan amal-amal mereka. Apabila mereka berada
diatas jalan tauhid, keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, istiqamah diatas
agama Allah sebagaimana yang terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya maka
mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah walaupun mereka berada di banyak tempat
namun pada akhir zaman jumlah mereka tidaklah banyak.
“Sesungguhnya (agama tauhid) Ini adalah agama
kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. Dan
mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. kepada
kamilah masing-masing golongan itu akan kembali. Maka barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, Maka tidak ada pengingkaran terhadap
amalannya itu dan Sesungguhnya kami menuliskan amalannya itu untuknya.” (QS. Al
Anbiya : 92 – 94)
2.Bersatu dalam perkara kepemimpinan
Katakanlah: ”Wahai Tuhan Yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Al-'Imran (3):26)
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah
dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS.An-Nisa (4):59)
Kepemimpinan,
hal yang besar namun telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Teringat
beberapa waktu yang lalu Indonesia sempat dihebohkan dengan pernyataan salah
seorang Ustadz, Da’I ternama yang biasa membawakan ceramahnya di stasiun televise
Indonesia. Da’I yang cukup fenomenal ini pada suatu waktu sempat mengeluarkan
pernyataannya mengenai kepemimipinan bahwa “Kepemimpinan dalam islam itu tidak
saling berhubungan, contohnya ketika
ingin naik pesawat. Kita tidak perlu Tanya pilotnya agama pa ya? Emang kalo
nonmuslim kita ngga mau naik?” Ungkapnya. Kita do’akan saudara kita, semoga
diberi Hidayah oleh Allah. Ikhwah fillah masalah kepemimpinan sudah jelas
diatur dalam islam dan saling berhubungan, bahkan pada masa Rasulullah telah
tersebar banyak amir-amir di beberapa daerah di jazirah Arab. Setelah Rasulullah
wafat kepemimpinan dilanjutkan oleh 4 sahabat Nabi, yakni Abu bakar, Umar bin
Khattab, Utsman Bin Affan, dan Ali bin Abi Thali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian
dilanjutkan oleh beberapa tabi’in-tabi’in seperti Umar bin Abdul Aziz, Harun Al
Rasyid, serta shalafus shaleh. Bahkan, Al Qur’an telah menjelaskan sistim
kepemimpinan itu seperti apa, dimana hakikat kepemimpinan itu ialah “Allah yang
Maha Merajai segala sesuatu”, dan diangkatlah seorang ulil amri diantara
manusia guna menjadi seorang khalifah penega syariat Islam dan mencegah
perselisihan. Namun, semua itu kemudian akan kembali pada Allah dan Rasul
sebagai yang Maha merajai dan suri tauladan. Islam ini telah sempurna dalam
segala hal termasuk kepemimpinan, bahkan adab masuk toilet pun telah diatur
dalam Islam dimana ketika masuk kaki kiri dahulu kemudian membaca do’a, lalu
keluar dengan kaki kanan terlebih dahulu lalu mebaca do’a. Ini saja diatur
dalam islam apatah lagi masalah besar tentang kepemimpinan? Dan kita tak
mungkin bisa menganalogikan masalah aqidah kepemimpinan ini dengan mu’amalah,
antara kepemimpinan dengan seorang pilot gak bisa. Malah yang ada hanya
kekeliruan, silahkan kita naik pesawat entah itu pilotnya beragama apa yang
jelas ia ahli dibidangnya dan mampu bertanggung jawab dalam masalah mu’amalahnya,
lain lagi bila menyangkut masalah kepemimpinan dimana seorang pemimpin
negri/bangsa haruslah beragam Islam, selain dari itu maka pemimpin yang
menggunakan nafsu sebagai alat untuk mengambil keputusan saja, tanpa dibarengi
oleh etika, syariat, dan tuntunan dari Allah dan Rasul. Untuk perlu adanya rasa
persatuan dalam umat, tenang saja Insyaa Allah atas kehendak Allah khilafah
pasti terwujud, tanpa kita perlu berkoar-koar di jalanan. Cuman kita tidak tahu
kapan, dan tentu semua itu akan berhasil melaui tahapan proses. Yang perlu kita
sadari disini ialah bagaimana kita mengislamisasikan masyarakat sekarang,
bagaimana mungkin khilafah terwujud kalo masyarakat dan diri kita masih berada
pada level kemaksiatan? Perlunya kita
mengajarkan dan mendidik umat untuk kembali pada Islam melalui pengajaran dan
metode-metode yang syar’i.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena)
mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (QS. Al-'Imran (3)
:118).
Komentar