Kaidah Ushuliyyah 3 : Zhahir, Nash, Mufassar, dan Muhakkam
Az Zhahir menurut istilah ahli ushul fiqih adalah
sesuatu yang maksudnya ditunjukkan oleh bentuk nash itu sendiri tanpa
membutuhkan factor luar, bukan tujuan asal dari susunan katanya dan mungkin
untuk ditakwil. Makna yang dipaham dari suatu ucapan tanpa membutuhkan bantuan
lain dan ia bukan maksud asal dari susunan katanya, maka ucapan itu dianggap
zhahir.
Firman Allah Subhana wa ta’ala.
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al
Baqarah:275)
Bermakna zhahir (jelas) dalam menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Karen makna itu langsung dapat dipahami dari kata :
“Ahalla dan “Harrama”, tanpa membutuhkan alasan dan hal itu bukan maksud dari
susunan ayat. Karena ayat itu, susunan asalnya adalah meniadakan persamaan antara
jual beli dan riba sebagai bantahan kepada orang yang mengatakan :”Bahwasanya
jual beli itu seeprti riba”, tidak untuk menjelaskan kedua hukumnya
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah
seorang saja (Qs. An Nisaa:3)
Bermakna jelas dalam memperbolehkan kawin dengan
wanita yang halal. Karena makna inilah yang langsung dipahami dengan tidak
membutuhkan alasan. Makna ini bukan menjadi tujuan dari susunan ayat, karena
maksud asalnya adalah membatasi jumlah istri maksimal empat atau hanya satu.
Hukum Az Zhahir wajib diamalkan sesuai dengan makna zhahirnya selama tidak ada
dalil yang menuntut untuk diamalkan dengan selain yang zhahir. Karena pada
dasarnya tidak ada pembelokan kata dari makna zhahir kecuali ada dalil yang
menuntut hal itu. Bahwasanya az Zhahir mungkin untuk ditakwil, artinya
membelokkan kata itu dari lahirnya dan menghendaki makna yang lain. Jika lafal
itu umum maka mungkin untuk diberi makna majaz dan bentuk-bentuk takwil yang
lain.
Az Zhahir mungkin untuk disalin. Artinya bahwa hukum
zhahir pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam dan masa penetapan
syariat dapat di hapus kemudian diundangkan hukum penggantinya, selama hukum
itu termasuk bagian dari hukum cabang yang dapat berubah demi kemaslahatan dan
dapat disalin.
A. NASH
Nash menurut istilah ulama ushul fiqih adalah suatu
yang dengan bentuknya sendiri menunjukkan makna asal yang dimaksud dari susunan
katanya dan mungkin untuk ditakwil. Jika makna itu langsung dipaham dari lafal,
pemahamannya tidak butuh factor luar dan ia adalah makna asal yang dimaksud
dari susunan kata itu, maka ia dianggap nash.
Firman Allah Subhana wa ta’ala.
“Dan Allah telah menghallakan jual beli dan mengharamkan riba (Qs. Al
Baqarah :275)
Disebut nash dalam arti meniadakan persamaan antara
jual beli dan riba. Karena ia adalah makna yang lagsung dari lafal dan makna
asal yang dimaksud dari susunan katanya.
Firman Allah subhana wa ta’ala.
“Maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau
empat..(Qs. An Nisa:3)
Disebut dalam arti membatasi jumlah maksimal istri
sampai empat. Karena ini adalah makna yang
langsung dipahami dari lafazh dan makna asal yang dimaksud dari susnna
katanya.
Hukum nash sama dengan zhahir. Artinya ia wajib
diamalkan sesuai dengan asalnya. Nash itu mungkin untuk ditakwil, artinya yang
dikehendaki dapat selain pada nash. Dan ia juga dapat menerima naskh. Oleh
karena itu dari firman Allah yang artinya “Maka kawinilah wanita (lain) yang
kamu ssenangi...” dapat diambil makna bolh kawin dan membatasi istri sampai
empat atau hanya satu.
Zhahir dan nash adalah jelas petunjuk maknanya.
Artinya dalam pemahamannya tidak membutuhkan factor luar dan wajib mengamalkan
makna yang jelas pada petunjuk keduanya. Keduanya juga mungkin untuk ditakwil,
misalnya yang dikehendaki adalah selain petunjuk yang jelas pada kalimatnya,
jika ada sesuatu yang menuntut adanya takwil itu.
Takwil menurut bahasa adalah menjelaskan sesuatu
yang ditakwilkan kepadanya. Allah subhana wa ta’ala berfirman.
“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya (Qs. An nisa:59).
Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih adalah
memalingkan makna lafal dari lahirnya karena ada dalil. Termasuk ketetapan para
ulama bahwa pada dasarnya tidak benar memalingkan lafal satu “sha’” kurma. Yang
dimaksud adalah sepadan dengan yang diperah atau seharga dengannya. Ini adalah
kaidah umum menurut syara’ dalam mengganti barang yang hilang.
Begitu juga takwil bagian sepertiga untuk ibu dengan
sepertiga bagian fardhu salah satu suami istri pada salah satu masalah
gharrawain adalah demi menjaga agar bagiannya tidak lebih banyak dari bagian
ayah. Di antara contoh dari undang-undang pidana adalah kata “malam” dalam
menjadikan tindak pencurian atau pidana perusakan tanamana sebagai waktu yang
meberatkan. Bila dipahami dengan lahr nash, maka yang dimaksud malam adalah
dari terbenamnya matahari sampai terbit, tetapai hal ini terkadang tidak
sesuai, sedangkan hikmah syari’ adalah menjadikan malam sebagai waktu yang
memberatkan. Karena tujuannya adalah memberatkan hukuman atas orang yang
menggunakan kegelapan sebagai waktu yang memberatkan. Karena tujuannya adalah
memberatkan hukuman atas orang yang menggunakan kegelapan sebagai kesempatan
melaksanakan tindak pidananya. Maka yang dimaksud malam adalah bila diliputi
kegalapan dan tidak selalu akibat terbenamnya matahari secara langsung.
Di antara takwil yang menjadi obyek pemikiran adalah
takwil firman Allah
“Maka kafarat melanggar sumpah itu ialah member
makan sepuluh orang miskin (Qs. Al Maidah :89). Dengan menghendaki sepuluh
orang miskin atau satu orang miskin sepuluh kali.
Menutup semua pintu takwil dan selalu mengambil
dengan yang zhahir, sebagaimana mazhab zhahiri, kadang dapat menyebabkan jauh
dari jiwa pembentukan hukum dan keluar dari kaidah umum dan melahirkan nash
secara bertentangan. Sedangkan membuka kedua daun pintu takwil tanpa ketelitian
dan kehati-hatian, terkadang menyebabkan tergelincir dan mempermainkan nash serta
menuruti hawa nafsu. Yang benar adalah emungkinkan penggunaan takwil yang
shahih. Yakni, makna yang ditunjukkan oleh petunjuk dari nash, kias atau kaidah
umum. Makna itu tidak diingkari oleh lafal bahkan lafal itu mengandung makna
dengan teori hakikat atau majaz dan tidak bertentangan dengan nash yang jelas.
B. MUFASSAR
Menurut istilah ahli ushul fiqih al Mufassar adalah
nash yang dengan sendirinya menunjukkan makna secara rinci yang tidak
memungkinkan sendirinya menunjukkamakna secara jelas dan rinci yang di dalamnya
tidak ada lagi kemungkinan diberi makna lain. Seperti firman Allah subhana wa
ta’ala.
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya (Qs. At
Taubah : 26)
Karena kata kaaffah (semuanya) meniadakan adanya
pengecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman
atas tindakan tertentu. Juga materi undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam
tindakan, seperti hutang, hak atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang
tidak mungkin untuk ditakwil.
Antara lain karena bentuk nash itu dating secara
global, tidak terinci, kemudian disusul oleh syari’ dengan penjelasan rinci,
pasti meniadakan keglobalannya, dan memerincinya sehingga nash yang global itu
menjadi terinci dan tidak mungkin ditakwil. Hukum mufassar harus diamalkan
sebagaimana penjelasan terhadapnya ia tidak mempunyai kemungkinan untuk
dipalingkan dari makna lahirnya. Hukumnya bisa menerima nasakh jika termasuk di
antara hukum yang telah kami jelaskan dalam azh zhahir, yakni hukum cabang yang
menerima perubahan. Jadi tafisr yang meniadakan kemungkinan takwil adalah
tafsir yang diambil langsung dari bentuk kalimatnya atau yang diambil dari
penjelasan (tafsir) nya yang pasti, disamakan dalam bentukna dan keluar dari
yang disyariatkan itu sendiri, karena penjelasan ini termasuk undang-undang ,
tidak dapat menghilangkan kemungkinan takwil, dan selain syar’I untuk
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ini, bukan lainnya.
Dari perbandingan antara takwil dan tafsir, jelaslah
bahwa keduanya menjelaskan maksud dari nash ; hanya saja tafsir menjelaskan
maksud dengan dalil yang pasti dari syari’ sendiri. Oleh karena itu ia tidak
bisa diberi makna yang lain. Sedangkan takwil adalah menjelaskan nash degan
dalil yang bersift dugaan dengan ijtihad. I tidak pasti dalam menentukan maksud
nash, sehingga masih mungkin diberi makna yang lain
C. MUHAKKAM
Al Muhakkam menurut istilah ulama ushul fiqih adalah
sesuatu yang menunjukka kepada makna yang dengan sendirinya tidak menerima
pembatalan dan penggantian berdasarkan petunjuk yang jelas, dan sama sekali
tidak mengandung takwil. Ia tidak menerima takwil, yakni diberi makna lain
selain lahirnya, karena ia bersifat rinci dan jelas yang tidak ada peluang
untuk takwil. Ia tidak menerima nasakh, baik pada masa keRasulan, masa
kekosongan turunnya wahyu dan atau masa sesudahnya. Karena hukum yang diambil
daripadanya mungkin dirubah, seperti menyembah kepada Allah Yang Maha Esan dan
iman kepada Rasul dan kitab-kitabNya. Atau diambil dari prinsip keutamaan yang
tidak berubah oleh perubahan keadaan, seperti berbuat baik kepada kedua orang
tua dan adil. Atau dari hukum cabang yang juz’i(anak cabang) tetapi terdapat
bukti bahwa syari menguatkan syariatnya.
Hukum Al Muhakkam secara pasti wajib diamalkan,
tidak mungkin dibelokkan dari makna lahirnya, atau disalin. Kami mengatakan
tidak menerima nasakh karena setelah masa Rasul dan terputusnya wahyu, semua
hukum yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Sunnah menjadi kokoh dan kuat tidak
menerima nasakh dan pembatalan. Sebab setelah Rasulullah tidak ada lagi yang
berkuasa menetapkan hukum syara yang berhak membatalkan dan merubah apa yang
telah beliau bawa. Hal ini akan kami jelaskan nanti pada pembatalan nasakh.
Keempat macam petunjuk yang jelas ini berbeda
tingkat petunjuknya terhadap makna yang dimaksud, sebagaimana yang kami
jelaskan. Perbedaan ini akan tampak jelas manakala terjadi kontradiksi. Jika
terjadi kontradiksi antara zhahir dan nash, maka yang dimenangkan adalah nash
karena ia lebih jelas petunjuknya dilihat dari segi bahwa makna nash itu adalah
makna asal dari susunan katanya. Sedangkan zhahir, maknanya bukan asal yang
dimaksud dari susunan katanya. Sedangkan zhahir, maknanya bukan asal yang
diaksud dari susunan katanya. Tidak ragu lagi bahwa maksud asl adalah dapat
langsung dipaham daripada petunjuk dari zhahirr. Oleh karena itu petunjuk dari
nash lebih jelas daripada ‘aam ketika terjadi kontradiksi. Karena khaashh
adalah asal yang maksud dengan hukumnya dan lafal adalah nash di dalamnya.
Sedangkan maksud pada nash yang umum itu tidak secara asal tetapi terkandung
dalam bagian-bagiannya.
“Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (QS. An
Nisaa :24)
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangu dua, tiga atau empat (Qs. An Nisaa : 3).
Ayat pertama jelas dalam menghalalkan istri kelima,
karena ia termasuk selain yang demikian, sedangkan ayat kedua adalah nash dalam
membatasi kewenangan beristri maksimal empat. Ketika terjadi kontradiksi maka
yng dimenangkan adalah nash. Karena kekuatan dalam kejelasan petunjuknya.
Ssehingga haram berisitri lebih dari empat.
Jika terjadi kontradiksi antara nash dan mufasssar,
maka mufassar dimenangkan Karena ia lebih jelas petunjuknya daripada nash
dilihat dari segi bahwa penjelasan tafsirnya menjadikan mufassar itu tidak
mungkin ditakwil dan maksudnya menjadi tertentu.
Komentar